Potret Kehidupan Peternak Di Sudan Selatan, Suku Mundari dan Ternak Sapinya, AK-47 Digunakan Sebagai Pengganti Cambuk Untuk Menjaga Sapinya dari Penjarahan
Para penggembala sapi di zaman kini umumnya menjaga sapinya memakai cambuk, tapi tidak dengan Suku Mundari di Sudan Selatan.
Cambuk tidak berlaku. Untuk menjaga sapinya yang istimewa itu dari agresi maling, mereka memakai senapan serbu AK-47. Sangar!
Sebagai negara yang gres merdeka pada 2011 lalu, kondisi Sudan Selatan memang belum stabil.
Kondisi negara yang masih labil itu besar lengan berkuasa besar terhadap suku-suku di Sudan Selatan yang salah satu kehidupannya ialah beternak sapi.
Sialnya, banyak ternak sapi milik penduduk jadi target para maling.
Lebih-lebih cara berternak sapi mereka bukan di dalam kandang, tapi digembalakan di tempat terbuka menyerupai daerah hijau di sepanjang pinggiran Sungai Nil.
Bagi Suku Mundari yang mengandalkan kehidupan dari ternak sapi, mempunyai sapi ialah segalanya.
Dari susu sapi yang diperah setiap hari mereka sanggup menciptakan bermacam-macam makanan untuk hidup, contohnya yogurt.
Selain itu sapi-sapi yang dimiliki Suku Mundari merupakan sapi yang luar biasa mengingat ukurannya yang besar dan mempunyai tanduk sangat panjang.
Maka tidak mengherankan kalau sapi-sapi milik Suku Mundari itu menerima julukan sebagai “rajanya para sapi”.
Sebagai suku yang masih menjalani kehidupan tradisional, dan semoga selalu sanggup bersama para sapi istimewanya itu, Suku Mundari kerap tinggal di semak-semak di bersahabat gembala kambing.
Maka jangan heran kalau mereka menolak tinggal di perkotaan alasannya tidak mau terpisah dari sapi-sapinya itu.
Memiliki Sapi Identik Dengan Status dan Kekayaan, Bahkan Ada Yang Mandi Menggunakan Kencing Sapi
Malam hampir datang di tepi Sungai Nil tepatnya di peternakan Mundari dan seorang anggota suku muda terlihat memulai rutinitas sehari-harinya – sehabis membersihkan gigi dengan tongkat, ia kemudian memandikan kepalanya dengan (maaf) kencing sapi.
Meskipun terlihat jorok, hal itu membantu mencegah nanah dan juga menciptakan rambut mereka menjadi berwarna orange.
Suku kecil Mundari di Sudan Selatan ini hidup dengan sapi-sapi mereka, yang mewakili kekayaan, status dan mahar – dan fotografer Tariq Zaidi ialah salah satu dari sedikit orang yang menangkap teladan hidup mereka.
Pria muda itu terus melaksanakan ritual sehari-harinya.
Dia kemudian meminum susu segar pribadi dari sapi sambil membawa drum sebagai alarm yang mengingatkan ternaknya bahwa sudah waktunya untuk merumput.
Suku Mundari (foto: Tariq Zaidi / ZUMA Press)
Tidak hanya urin sapi yang menyampaikan sumbangan bagi rakyat Mundari, suku juga mengolesi bubuk yang dicampur dengan hasil pembakaran kotoran sapi pada kulit mereka.
Itu menyerupai bedak yang mengandung antiseptik dan pengusir nyamuk alami, juga memperlihatkan sumbangan dari teriknya matahari Sudan pada mereka dan ternaknya.
Menggambarkan korelasi suku dengan sapi, Zaidi menyampaikan dikutip dari Mail Online: “Sapi ialah hal yang paling penting dalam hidup mereka. Dan mereka akan melindungi ternaknya dengan segala cara. ”
Setiap tahun di Sudan Selatan, ada sekitar 350.000 sapi dan lembu yang dicuri, dan lebih dari 2.500 orang tewas akhir pencurian tersebut. Karena itu, banyak anggota suku yang rela menggelontorkan uang sekira Rp 6,6 juta untuk membeli senapan.
“Hewan ini diperlakukan menyerupai anggota keluarga, “kata fotografer. “Ketika sapi kembali dari padang rumput, mereka tahu persis di mana tuan mereka dan di mana rumah mereka – mereka terlihat menyerupai anjing. Keluarga akan tidur dengan ternak, memandikan mereka dengan bubuk dan memastikan tanah yang akan mereka tiduri nyaman dan bersih. ”
Sapi yang mereka pilihara disebut Ankole-Watusi – sapi putih dengan dengan tanduk khas yang melengkung, juga dikenal sebagai ‘sapi dari raja-raja’.
“Setiap orang Mundari yang saya temui mempunyai sapi favoritnya, “kata Zaidi. “Itu ialah miliknya yang paling berharga dan refleksi dari dirinya.”
Ternak dipakai baik sebagai mata uang dan sebagai simbol status, dan merupak warisan keluarga atau mas kawin.
Tariq Zaidi telah menghabiskan 10 tahun terakhir memotret suku di lebih dari 30 negara di Afrika. Sudan Selatan ini sanggup dibilang yang paling tidak stabil.
Suku Mundari (foto: Tariq Zaidi / ZUMA Press)
Setidaknya, 50.000 orang diperkirakan telah tewas semenjak perang saudara dimulai di negara itu pada bulan Desember 2013 dengan lebih dari 2.2 juta orang mengungsi dan berada diambang kelaparan.
Konflik telah mengakibatkan orang-orang Mundari terus menggiring ternak mereka di sepanjang tepi sungai Nil.
“Perang yang berlangsung di Sudan Selatan telah mengurangi suku Mundari di dunia, “kata Zaidi. “Mereka tidak berani ke kota, mereka tinggal di semak-semak, dan itulah mengapa cara hidup mereka yang unik terus berlangsung.”
Referensi
intisari-online
http://www.manadotoday.co.id
EmoticonEmoticon