Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu..
Jadilah menyerupai Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan doktrin diri dan menyebarkan potensi anaknya.
Saat itu sang anak masih remaja. Usianya gres 13 tahun.
Ia tiba membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar.
Rasulullah tidak mengabulkan keinginan dewasa itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih.
Namun sang ibu bisa meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.
Tak usang lalu ia diterima Rasulullah sebab kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an.
Beberapa tahun berikutnya, ia populer sebagai sekretaris wahyu.
Karena ibu, namanya bersahabat di indera pendengaran kita sampai kini: Zaid bin Tsabit.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah menyerupai Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.
Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah bisa membentuk abjad anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan menyayangi ilmu.
Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab.
Ia tidak lain yakni Imam Ahmad.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya.
Seperti Ummu Habibah.
Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya.
Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya:
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan saya untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh sebab itu saya bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya.
Peliharalah keselamatannya,panjangkanlah umurnya semoga saya sanggup melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin!”.
Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak bersahabat dengan nama aslinya, tapi kita niscaya mengenal nama besarnya: Imam Syafi’i.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu..
Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman.
Sejak kecil ia menanamkan harapan ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai harapan itu.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kau yakni Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kau yakni imam masjidil haram…”, Sang Ibu tak bosan-bosannya mengingatkan.
Hingga karenanya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani.
Jadilah menyerupai Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan doktrin diri dan menyebarkan potensi anaknya.
Saat itu sang anak masih remaja. Usianya gres 13 tahun.
Ia tiba membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar.
Rasulullah tidak mengabulkan keinginan dewasa itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih.
Namun sang ibu bisa meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.
Tak usang lalu ia diterima Rasulullah sebab kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an.
Beberapa tahun berikutnya, ia populer sebagai sekretaris wahyu.
Karena ibu, namanya bersahabat di indera pendengaran kita sampai kini: Zaid bin Tsabit.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah menyerupai Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.
Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah bisa membentuk abjad anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan menyayangi ilmu.
Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab.
Ia tidak lain yakni Imam Ahmad.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya.
Seperti Ummu Habibah.
Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya.
Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya:
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan saya untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh sebab itu saya bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya.
Peliharalah keselamatannya,panjangkanlah umurnya semoga saya sanggup melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin!”.
Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak bersahabat dengan nama aslinya, tapi kita niscaya mengenal nama besarnya: Imam Syafi’i.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu..
Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman.
Sejak kecil ia menanamkan harapan ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai harapan itu.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kau yakni Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kau yakni imam masjidil haram…”, Sang Ibu tak bosan-bosannya mengingatkan.
Hingga karenanya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani.
Kita niscaya sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, sebab sesudah menjadi ulama, anak itu populer dengan nama Abdurrahman As-Sudais.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu niscaya sukses.
Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu.
Seperti ibunya Zewail yang semenjak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu.
Ia menanamkan kesadaran sekaligus doktrin diri.
Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor.
Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia.
Dialah doktor Muslim akseptor Nobel bidang Kimia tahun 1999.
Jika suatu ketika nanti kau jadi ibu...
Jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu niscaya sukses.
Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu.
Seperti ibunya Zewail yang semenjak anaknya kecil telah menuliskan “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anak itu.
Ia menanamkan kesadaran sekaligus doktrin diri.
Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor.
Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia.
Dialah doktor Muslim akseptor Nobel bidang Kimia tahun 1999.
Sumber: WA IKARMA

EmoticonEmoticon