Monday 22 January 2018

Rumah Tanpa Televisi, Mengubah Kebiasaan Anak Yang Kecanduan Televisi

Rumah Tanpa TV
Jaman sekarang, termasuk anakku, abang Q yang ketika ini usianya sudah 4 tahun, sepanjang hidupnya sungguh sangat kecanduan dengan yang namanya televisi. Saya sebagai orang tua, tau persis bahwa setiap anak mempunyai screening time atau waktu untuk menghabiskan di depan layar, termasuk laptop, televisi dan hp. Namun, alasannya yakni istilahnya tidak mau rempong, saya membiarkan anak saya menonton tv mulai dari terbukanya mata hingga tertutup, begitu seterusnya dari hari ke hari.

Waktu itu, kami mempunyai dua televisi, satu digantung di dinding ruang keluarga dan satunya tergantung di dinding kamar kami. Nah, tv yang tergantung di dalam kamar ini lah yang selalu on sepanjang waktu kecuali jikalau abang Q sedang tidur. Bahkan ketika abang Q sedang bermain pun, tv akan terus menyala.

Sebenarnya beberapa bulan terakhir saya mulai risih dengan tv yang terus-terusan menyala, bukan apanya, abang Q sudah berusia 4 tahun dan semakin kesini semakin banyak tingkah dan ucapan yang ia copas dari televisi. Televisi yang terpampang konkret di kamar dengan layanan tv kabel yang relatif sangat murah, hanya 30rb rupiah per bulan, menciptakan naluri kemalasanku menemani anak main jadi semakin meningkat. Ditambah dengan kesibukan sendiri, lengkaplah sudah. 

Anak saya memang sudah tidak kecanduan gadget lagi semenjak usianya 2 tahun, (mungkin nanti saya akan ceritakan pengalaman menghentikan kecanduan gadget pada anak saya), tapi saya masih belum sanggup sepenuhnya melepas kecanduan televisi pada anak saya. Setiap melihat anak saya menonton televisi, saya jadi kesal dan selalu berdoa pada Allah SWT bagaimana pun caranya biar abang Q tidak nonton tv lagi, entah itu alasannya yakni tv nya rusak atau dijual atau apapun itu. 

Sejak ada keputusan saya dan suami merantau ke Surabaya, kami tetapkan untuk menjual sebagian besar barang milik kami, termasuk televisi. Dari situlah saya melihat secercah impian pada anak saya yang kala itu kecanduan televisi.

Sebelumnya, kami sudah memberitahukan pada abang Q bahwa kami akan pindah dan harus menjual  sebagian besar barang-barang kami. Waktu itu, abang Q sempat memohon biar tidak menjual televisi, ia bahkan hingga nangis. Rasanya murung juga, tapi saya memberitahunya sambil memeluk bahwa tv nya harus dijual alasannya yakni kalau tidak dijual, nanti kita tidak punya uang untuk beli tiket pesawat ke Surabaya.

Foto waktu tv nyala terus di dalam kamar

Hari itu pun tiba, hari pertama kami berada di Surabaya, rumah gres kami. Tidak ada tv di dalam rumah, sama sekali. Beberapa kali kudapati abang Q berdoa dengan suara, menyampaikan "Ya Allah tolong kasih uang mami supaya sanggup belikan abang tv ya..". Mendengar doa anak kecil rasanya antara geli dan kasian. Dalam hati saya menyambung doanya, "Ya Allah, jangan ya... tolong semoga kami tidak usah punya tv."

Setiap hari, abang Q menyampaikan bahwa ia bosan dan tidak tahu harus apa. Lantas saya mengajaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, mengajaknya bermain, mengajaknya membaca buku dan menceritakan pengalaman saya sewaktu menjadi belum dewasa juga.

Kakak Q tidak sepenuhnya tidak menonton, ia tetap menonton, di laptop, dengan batasan waktu dan menonton kartun yang sebelumnya telah saya nonton. Agar saya tahu persis apa yang anak saya nonton. Saya tidak akan pernah membiarkannya menonton youtube, secara youtube selalu menampilkan rekomendasi video lain di sebelahnya, dimana anak saya sudah cendekia memainkan touchpad pada laptop. Tidak ya, di youtube kita sama sekali tidak sanggup memfilter apa yang belum dewasa nonton. Kadang, meski tampilan kartun, video yang tampil tetap ada konten pornografi. Ingat tidak, kala itu ada yang sharing bahwa kartun di youtube menampilkan elsa dan spiderman lagi bekerjasama intim?

Takut, sangat takut. Saya tidak akan pernah lagi membiarkan anak saya nonton youtube secara online. Kecuali jikalau videonya telah di download di ipad dan jaringan internetnya dimatikan, mungkin dengan cara itu kita orang bau tanah sanggup sedikit lebih memfilter program apa yang akan ditonton anak kita.

Pemikiran saya, masa gara-kita mau rusak anak kita semudah itu? Bikinnya susah, tau! Hamilkan juga susah, melahirkan juga, bahkan perut saya harus dibelah dulu gres anak saya sanggup keluar. Tidak, jangan.... Saya tidak mau anak saya rusak alasannya yakni barang murah menyerupai tv dan gadget, anak saya terlalu mahal jikalau dibandingkan dengan barang tersebut.

Nah, kini giliran Anda sebagai orang tua, apakah ingin menghentikan anak Anda dari kecanduan tv dan gadget saat ini juga, ataukah rela anak Anda yang berharga rusak alasannya yakni hal tersebut. Pilihan di tangan Anda.


EmoticonEmoticon