Thursday 18 January 2018

Menemukan Potensi Diri Sendiri Sebagai Seorang Ibu Dan Istri

Gambar: lynda.com
Sebelumnya saya telah membahas tentang menggali potensi anak, nah sekarang saatnya menggali potensi diri sendiri, khususnya potensi sebagai seorang ibu dan istri. Seperti yang sebelumnya saya jelaskan bahwa berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), potensi yakni kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya. Potensi bagi saya yakni sesuatu yang menciptakan kita senang mengerjakannya dan merasa duka ketika tidak melakukannya. 

Jujur saja, semenjak jaman kecil keinginan saya yakni menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan bawah umur saya dengan baik. Terdengar lucu alasannya yakni seorang anak wanita mempunyai keinginan menyerupai itu, dimana bawah umur lain menginginkan menjadi dokter. Tapi saya tidak pernah mengakuinya waktu itu, alasannya yakni saya sering didoktrin oleh orang bau tanah semoga menjadi pegawai.

Saya senang mengurus bawah umur saya dan saya bersedih ketika sedang berada di titik terendah diri saya dan kemudian melampiaskan kesedihan pada anak-anak. Saya senang mempelajari banyak sekali ilmu wacana pendidikan anak dan saya suka mempraktekkan serta menuai hasil yang memuaskan karenanya. Seperti waktu sebelum hamil anak kedua, saya mempelajari bagaimana semoga abang sayang pada adiknya, kemudian saya mempraktekkannya dan kemudian kini alhamdulillah anak pertama saya begitu sayang dan peduli pada adiknya. Ada ataupun tidak ada orang lain bersama mereka. Tidur ataupun sedang terjaga, abang selalu berusaha melindungi sang adik.

Selain itu, saya juga senang ketika saya memasak, khususnya untuk bawah umur saya. Jujur saja, kebahagiaan memasak ini saya temukan baru-baru ini. Sebelumnya saya sangat jarang memasak dan sering memesan masakan dari luar. Alasannya sederhana, alasannya yakni saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri, saya memenuhi undangan orang bau tanah untuk melanjutkan kuliah dan tetap berpenghasilan, jadi saya bekerja mendalami dunia dropship sampai waktu itu penghasilan saya bisa 20-30jt per bulan. Belum lagi tugas-tugas mahasiwa magister yang aduhai. Disitulah ketika anak pertama saya kecanduan berat gadget dan tv. Saya menciptakan orang bau tanah saya besar hati tapi sekaligus mengorbankan anak saya.

Sejak pindah ke Surabaya, saya jadi sangat senang memasak di rumah. Saya bisa meninggalkan semua pekerjaan lain, tapi tidak dengan memasak. Saya bisa merasa berdosa ketika tidak sempat memasak dan harus memesan masakan di luar. Saya bahagai melihat bawah umur saya lahap memakan hasil jerih payah saya di dapur. Saya bahkan rela tidak tidur semalaman mencari resep dan bangkit keesokan paginya untuk memulai menggoyang dapur.

Saya sadar bahwa orang lain di lingkungan saya, termasuk dalam lingkup keluarga sendiri, banyak yang menganggap rendah pilihanku menjadi ibu rumah tangga. Mereka seolah beranggapan bahwa percuma saya bersekolah tinggi alasannya yakni ujung-ujungnya saya hanya berada di rumah. Ketika saya bertanya balik, "bagaimana dengan bawah umur saya jikalau saya bekerja di luar rumah?" balasan mereka benar-benar menciptakan saya geram, katanya saya bisa memanggil orang untuk menjaga bawah umur saya. like seriously

Saya bahkan tidak hening ketika suami yang menjadi anak-anak, yang notabene yakni ayah kandung mereka dan satu-satunya insan yang terkoneksi dengan contoh pengasuhan saya. Lalu bagaimana bisa saya percaya dengan orang lain yang tiba-tiba tiba mengurus anak saya? No way!

Saya sadar banyak yang berharap lebih padaku, berharap saya bekerja di ranah publik alasannya yakni kemampuan saya bisa dibilang tidak mengecewakan baik. Saya bahkan pernah menerima proposal bekerja sebagai dosen, but no thanks. Saya menentukan mengajar bawah umur saya sekarang, tidak tahu nanti kalau mereka sudah besar dan hidup mandiri. Mungkin saya akan terjun ke ranah publik?

Setelah itu saya merenung lama, semenjak anak pertama saya usia 2 tahun. Waktu itu saya benar-benar gundah alasannya yakni orang bau tanah saya memaksa semoga saya bekerja di luar rumah, sementara suami saya tidak pernah ridho jikalau saya bekerja di luar rumah, serta saya pun tidak tega meninggalkan anak. Hampir setiap hari semenjak ketika itu saya merenung setiap malam, saya memandangi anak saya dan bertanya dalam hati, "apa hasilnya kau nak, jikalau saya menuruti keinginan orang tuaku?" saya tidak hingga hati tiba-tiba pulang ke rumah dan melihatmu sudah besar, melihatmu jauh dariku. Saya tidak mau.

Mereka menyampaikan bahwa kemampuan saya selama ini sia-sia, termasuk ilmu yang telah saya timba selama ini. Tapi saya tidak pernah merasa semuanya sia-sia, saya merasa bahwa Allah memperlihatkan jalan yang dulu itu semoga saya bisa hingga ke titik ini, semoga saya bisa membesarkan bawah umur hebat. Allah telah mempersiapkanku sedemikian rupa semoga bisa menjadi sekolah pertama yang berkualitas bagi anak-anakku, dan saya besar hati menyampaikan ini.

Sejak awal pernikahan, kami sudah tetapkan untuk merantau. Jujur saja, ketika saya pulang ke kampung halaman bersama anak-anak, niscaya selalu saja ada konflik internal antar keluarga perihal metode pengasuhanku pada mereka. Selalu ada bentrok dan saya termasuk tipe orang yang tegas dalam mendidik anak. Jika saya bilang tidak, maka tidak akan terjadi. Karena itu anak pertama saya sudah tahu betul, kini jikalau saya bilang tidak maka ia tidak akan meminta lagi. Dia tahu bahwa meski merengek dan menangis, ia tidak akan pernah mendapatkannya.

Sekarang saya sadar, mengapa Allah membawa kami begitu jauh dari keluarga besar. Allah mau kami mendidik bawah umur kami dengan baik. Jujur saja, di keluarga besar kami itu masih selalu menyalahkan lantai ketika anak jatuh. Sementara kami, tidak pernah menyalahkan apapun dan siapapun atas ketidakhati-hatian si anak. Suami saya juga tidak mau bawah umur bernyanyi, alasannya yakni itu kami tidak pernah mengajarinya menyanyi. Kami juga tidak pernah berkata negatif pada anak, contohnya mengatakannya bodoh, jelek, badung dll. Kami lebih menentukan membisu ketika sedang emosi pada anak, daripada harus mendoakannya menyerupai itu. Sementara di keluarga besar kami, ketika anak berlarian maka akan disebut nakal. Ketika anak tidak tahu sesuatu maka akan disebut bodoh. Tidak adil, sangat tidak adil memperlihatkan evaluasi menyerupai itu pada insan yang gres mengenal dunia lebih singkat daripada waktu menyicil kendaraan.

Suami saya semenjak anak pertama kecil ingin semoga anak pertama kami berjilbab, sementara dulu setiap kami pulang kampung, anak kami sering disindir buruk alasannya yakni menggunakan jilbab. Tapi alhamdulillah anak pertama sudah mengerti kenapa harus menggunakan jilbab. Intinya, banyak bentrok dalam pendidikan anak versi saya dan keluarga besar.

Sekarang saya mengerti mengapa Allah menjauhkan kami dari keluarga besar. Allah ingin semoga kami memutus kezaliman yang dilakukan generasi sebelumnya. Allah ingin semoga generasi di bawah kami menjadi generasi yang sebaik-baiknya. Karena itu Allah memberiku keinginan menjadi ibu rumah tangga, alasannya yakni itu juga Allah membuatku senang mempelajari dan mempraktekkan ilmu parenting. Serta membuatku senang memasak alasannya yakni dari dapurlah seorang anak insan bisa tumbuh sehat dan gagah.



EmoticonEmoticon