Berdasarkan data yang dihimpun dari website Bank Indonesia (2012) terungkap bahwa jumlah perusahaan perbankan di Indonesia per Oktober 2011 mencapai 1.957 buah bank yang terdiri atas 120 bank umum dan 1.837 Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di antara 120 bank umum tersebut 116 bank merupakan bank swasta dan 4 lainnya merupakan bank pemerintah. Selanjutnya, dari 116 bank umum swasta tersebut maka 79 bank merupakan bank swasta yang dikelola secara konvensional, 11 bank merupakan bank syariah, dan 26 lainnya merupakan Bank Pembangunan Daerah. Sementara itu, dari 1.837 BPR, maka 1.683 merupakan BPR Konvensional, dan 154 lainnya merupakan BPR Syariah.
Data tersebut menawarkan bahwa ada kecenderungan pengelolaan bank dengan sistem syariah yang dikembangkan di Indonesia. Lahirnya pandangan gres pengembangan bisnis bank syariah ini didasarkan pada harapan ummat Islam untuk menegakkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.
Aktivitas operasional bank syariah diatur dengan memakai prinsip syariah. Prinsip syariah berdasarkan UU 21/2008 pasal 1 (12) adalah:
“prinsip aturan Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh forum yang mempunyai kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.
Di mana secara lebih terang sebelumnya telah disebutkan dalam UU 10/1998 Pasal 1 (13) bahwa:
“Prinsip syariah ialah aturan perjanjian berdasarkan aturan Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh laba (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
“prinsip aturan Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh forum yang mempunyai kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.
Di mana secara lebih terang sebelumnya telah disebutkan dalam UU 10/1998 Pasal 1 (13) bahwa:
“Prinsip syariah ialah aturan perjanjian berdasarkan aturan Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh laba (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
Sebagai bentuk proteksi dari pemerintah terkait dengan acara perbankan berbasis syariah Islam ini, maka Pemerintah Indonesia mengakomodasinya dengan dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia (UU) No. 10 tahun 1998 ihwal Perbankan sebagai perubahan dari UU No.7 Tahun 1992 ihwal Perbankan, alasannya pada UU No 7/1992 belum mengatur persoalan bank Syariah.
Selanjutnya, seiring dengan semakin dibutuhkannya proteksi pemerintah terkait paktik bank syariah, maka pemerintah kembali mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2008 ihwal Perbankan Syariah dan dilengkapi dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.11/3/PBI/2009 ihwal Bank Umum Syariah. Dukungan dari pemerintah tersebut berperan dalam perkembangan bisnis bank syariah Indonesia, yang ditunjukkan dari perkembangan total aset, perhimpunan dana, dan pembiayaan bank syariah di Indonesia dari tahun ke tahun.
Melalui pengembangan bank syariah, maka umat Islam akan terhindar dari paktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan aliran agama Islam. Salah satu misalnya ialah dalam hal mendapatkan dan membayar bunga, alasannya bunga bank dalam Islam sanggup diklasifikasikan sebagai riba, yang dihentikan keberadaannya dalam agama Islam.
Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT yang artinya:
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah (2):275);
dan dilanjutkan dengan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan riba dengan berlipat ganda” (al-Baqarah (2):300).

EmoticonEmoticon