Wednesday, 18 April 2018

Ternyata, Rasa Cinta Itu Masih Ada

Pernah jengkel dengan kondisi negara kita dikala ini? Saya yakin, banyak dari kita yang pernah merasa kesal dan jenuh dengan kondisi bangsa kita. Terutama bila melihat berita-berita dan penetapan-penetapan kebijakan-kebijakan yang seolah tidak tuntas, kebijakan yang bertabrakan, atau kebijakan yang berdampak pada uang belanja dan pendidikan. 
Sebut saja, kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, yang berdampak pada naiknya biaya transportasi, naiknya harga beras, telur, dan naiknya harga materi pokok lainnya, sehingga ibu-ibu harus memutar dompet dan panci biar dapur tetap mengepul tanpa meningkatkan proteksi di tukang sayur dan toko kelontong. 
(@Sidoarjo)
Belum lagi maraknya kasus korupsi, dan perseteruan antarlembaga pemerintahan. Wah, rasanya ikut merasa jengkel, mengapa semua itu harus terjadi di negeri kita ini. Hingga akhirnya, benak pun mulai berpikir untuk tinggal saja di negara lain yang terlihat lebih makmur dan teratur. Ah, rumput tetangga memang terlihat lebih hijau daripada rumput yang ada di pekarangan sendiri. 
Surabaya di Rembang Petang ....
Namun, stop dulu rasa jengkel dan jengah kita itu. Karena ternyata kejengkelan dan kejengahan itu hanya sementara. Ya, ibarat dikala kita merasa jengkel kepada pasangan ketika sedang cek-cok gitu kali ya
Ya, ternyata kejengkelan dan kejengahan itu ialah bentuk dari rasa cinta kita pada bangsa kita. Karena kita tidak ingin bangsa kita berada pada kondisi yang tidak menyenangkan. 

Dan, itu saya alami sendiri. Ternyata saya sangat mengasihi negara ini dikala saya tidak berada di negeri yang telah membesarkan saya ini. Negeri yang darinya saya makan, minum, bermain, dan belajar, serta mendapat keluarga. 
Saat itu, saya mencicipi 'sakit' yang amat dalam dikala saya berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Sakit alasannya ialah hati saya tersentil dengan sentimen kecemburuan dan ketidakrelaan. Saat itu saya tengah terlibat dalam perjalanan bersama tiga orang awak media dari Indonesia dan beberapa karyawan salah satu BUMN di Indonesia yang tengah perluasan ke negara tersebut (dan kebetulan, saya ialah satu-satunya perwakilan blogger dalam perjalanan itu).

Nah, kebetulan malam itu ialah malam terakhir perjalanan kami, sehabis dua hari menelusuri sudut-sudut kota dan beberapa area wisata di sana. Malam itu, kami diajak belanja-belanja souvenir untuk buah tangan dikala pulang ke Indonesia keesokan harinya. Souvenir pun awut-awutan rapi dari stand ke stand lainnya. Harganya tidak mengecewakan murah. Jadi, kita dapat beli banyak-banyak. Bisa ditawar lagi. 

Saya pun sudah memilih-milih aneka t-shirt dengan goresan pena "I Love KL", "I Love Malaysia", dan ragam goresan pena ungkapan cinta bangsa. Ada juga yang dalam bentuk gambar, ibarat gambar menara Petronas, gambar pakaian adat, pantai wisata, dan lain-lainnya. Pastinya, ada juga pernak-pernik dan ragam miniatur simbol negara ini. 

Namun, tiba-tiba tangan saya terhenti untuk menentukan dan memilah ragam souvenir tersebut. Ada suatu rasa yang menyelinap di relung hati saya, yang menyebabkan saya menghentikan gerak tangan saya. 
Dan, saya pun mundur dari barisan. Saya tidak ingin belum dewasa saya menggunakan t-shirt bergambar simbol negara lain. Saya tidak ingin belum dewasa saya menggunakan t-shirt bertuliskan ungkapan rasa cinta kepada negara lain.  
Senyum Manis Merah Putih (@home, Surabaya)
Owh, ternyata saya masih cinta Indonesia. Sakit hati ini terasa. Ada ketidakrelaan dikala membaca goresan pena di t-shirt-t-shirt itu. Saat itu, justru terbetik dalam hatiku untuk mengeluarkan desain t-shirt untuk mensosialisasikan rasa cinta belum dewasa dan dewasa kita kepada bangsa Indonesia. Karena ternyata saya masih cinta Indonesia. Yang semua itu saya sadari dikala saya meninggalkan Indonesia, hanya dalam hitungan hari. 

Ah, ternyata, saya masih cinta Indonesia. Dan, keesokan hari, saya segera berbenah untuk terbang ke Indonesia. Tidak satupun souvenir yang saya bawa pulang ke Indonesia. Hanya bungkusan cokelat yang saya beli di Chocolate Kingdom yang saya bawa pulang. Cokelat anggun persahabatan dan kerjasama Indonesia dan Malaysia.

Tidak sabar rasanya untuk segera mendarat di Juanda, bertemu dengan keluarga dan peluk hangat mereka .... 
Rasa syukur tidak berhenti selama dalam penerbangan. Saya bertukar dingklik dengan salah seorang penumpang dari Kalimantan Utara biar saya dapat duduk di sisi jendela. Saya ingin menengok ke luar jendela, menikmati hamparan udara nusantara raya dari atas langit. Dan, saya pun tidak berhenti melihat ke bawah, begitu penerbangan sudah mulai mendekat Juanda. Kerlap-kerlip lampu di petang itu membuncahkan rasa syukur tidak terkira. 

Dan kesannya ... sampailah saya kembali di tengah desakan antrian yang kadang harus rela menyerah dari serobotan pengantri yang lain. Yang selama di Kuala Lumpur saya tidak mengalami adanya serobotan-serobotan semacam itu, alasannya ialah antrian berlaku sangat teratur. 
Saya juga kembali terjebak dalam kemacetan jalan, berhenti di lampu merah dengan pemandangan pedagang asongan dan pengamen. Juga mengikuti antrian dikala mengisi bensin di Pom Bensin, dan menikmati naik turunnya harga premium akhir-akhir ini. 
Rute Surabaya-Malang
Kemacetan, pedagang asongan, pengamen, dan antrian di Pom Bensin, yang semuanya itu tidak saya temukan dikala di Kuala Lumpur, alasannya ialah pom bensin di sana bersistem self-service. Juga jalan tol di sana juga menggunakan token, sehingga tidak kutemukan senyum ramah penjaga gerbang tol. 

Tapi, di situlah seninya negeriku. Semua berproses dalam keramahan dan kebersamaan. Yang ternyata saya kangen dengan kejadian-kejadian yang menjengkelkan itu. Yang semuanya ternyata mengajarkan local wisdom, kesabaran, menyerah untuk mencicipi nikmatnya kemenangan, kebersamaan dan keguyuban ....
Di dalam kesabaran dan kemengalahan ada banyak keindahan, ketenangan, keberasalan. Di dalamnya saya mulai bernafas dan hidup ....
Terlalu Banyak Keindahan yang Tersurat (@Pandaan, Pasuruan)
Hamparan Cita dan Cinta dalam Deru Pantura (@ Pantai Utara, Tuban)
Tumbuh menyatu bersama alam Indonesia (@ pantai utara, Tuban)
Dari sana kami berproses (@Pantai Utara, Tuban)
Birunya Lautku, Birunya Kehidupan (@Pantai Kenjeran, Surabaya)
Pahatan Keindahan Kehidupan Negeri (Rute Paciran-Tuban)
Lebatnya Hutan, Kesyukuran yang Dalam (@Pandaan, Pasuruan)
Indahnya Negeriku (@Pasuruan-Malang)
Bahkan Makanan pun Tersaji dalam Kebersamaan dan Kebhinekaan (Surabaya)
Tetap Indah dalam Pangkuan Ibu Pertiwi (@Lamongan)
Alhamdulillah .... Dan, terimakasih Indonesia, engkau mengajarkan kearifan dalam kehidupan yang berproses ....
Dari Sana Matahari Terbit (@Juanda, Surabaya)

All Pics: @mom_of_five


EmoticonEmoticon