Saat ini usia pernikahan saya dan suami sudah berjalan empat tahun. Kami mempunyai satu orang anak dan alhamdulillah kami belum mempunyai rumah pribadi. Kenapa kok alhamdulillah ya? Soalnya saya bersyukur sekali berada di posisi saya sekarang. Tidak menyerupai dulu, ketika kami masih menjadi pengantin baru.
Rasanya ingatan itu masih sangat segar di kepalaku, suasananya masih menempel di setiap jengkal kulitku. Air mata yang jatuh ketika itu, masih terasa hangat di pipiku. Ya, masa-masa pengantin gres kami tidak menyerupai kebanyakan pasangan pengantin gres lainnya yang menghabiskan berbulan madu romantis dan sejenisnya. Pengalaman pengantin gres kami begitu menyedihkan, tapi berhasil menciptakan saya mensyukuri apa yang saya miliki ketika ini.
Sebelum menikah, saya bekerja menjadi karyawan di salah satu bank BUMN di Indonesia, tepatnya di Makassar. Begitupun dengan suami (waktu itu belum jadi suami), dia bekerja di perusahan semen di kota Maros, Sulawesi Selatan. Selain menjadi karyawan, suami saya mempunyai perjuangan truk 10 roda yang disewakan kepada tambang di kawasan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Jika melihat dari sisi finansial, kami sudah bisa disebut sangat layak untuk menikah. Waktu itu penghasilan suami saya saja dari usahanya bisa mendapatkan hingga 100jt rupiah per minggu. Bisa bayangkan bagaimana caranya memanjakanku ketika itu? Ya benar, dengan materi.
Sebelum program pernikahan dilaksanakan, beberapa waktu sebelumnya kami sudah saling berjanji akan berhenti dari pekerjaan kantoran kami. Saya akan fokus menjadi ibu rumah tangga, membesarkan bawah umur kami dan dia fokus dengan usahanya, mencari nafkah untuk istri dan anak. Maka saya pun mengajukan permohonan mengundurkan diri dari pekerjaan saya seminggu sebelum ijab kabul dilaksanakan. Keputusan ini bulat, maka atasan saya mengizinkannya. Beruntung saya hanya pegawai kontrak, jadi tidak memerlukan persyaratan seribet persyaratan suami yang sudah pegawai tetap di kantornya.
Beberapa hari sesudah menikah, sudah ada desas-desus perihal perjuangan suami yang tidak stabil. Dimulai dari hukum gres pemerintah perihal pertambangan, hingga seorang rekan yang kabur membawa semua aset serta meninggalkan utang senilai 6 milyar rupiah. Mudah dalam sebulan, kami bangkrut. Kami yang awalnya berdomisili di Makassar, balasannya tetapkan untuk merantau ke Kendari. Kami tidak mau hingga keluarga kami tahu perihal kondisi yang kami alami. Kami tidak mau merepotkan.
Saya ingat betul, ketika pertama kali pindah ke Kendari, suami lah yang berangkat terlebih dahulu dengan membawa kendaraan beroda empat double cabin miliknya, rencananya kendaraan beroda empat itu akan direntalkan ketika tiba di Kendari. Beberapa ahad kemudian, saya menyusul suami dan kami tinggal disebuah wiasma yang rasanya lebih pantas disebut kosan. Harga kamar per bulan waktu itu ialah 700rb rupiah. Saya ingat betul ketika kami ingin pulang kampung lebaran idul fitri, kami sama sekali tidak punya dana. Saya harus menagih utang mitra saya dulu sebesar satu juta rupiah gres kami bisa pulang kampung, itupun memakai jalur darat kemudian disambung dengan kapal fery dan lanjut lagi dengan darat, total waktu yang diharapkan sekitar 30 jam! Yah, waktu itu tiket pesawat pulang kampung sudah mencapai 700an ribu per orang, makanya kami tetapkan memakai alternatif ini, berdua hanya butuh 800rb rupiah.
Sampai di Makassar, ternyata saya sedang hamil. Masya Allah, waktu itu saya tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Di satu sisi saya merasa senang alasannya sebentar lagi saya akan mempunyai anak, tapi di sisi lain saya murung alasannya ketika ini sedang berada di masa tidak punya uang sama sekali. Berhubung kami masih ada uang sekitar 300rban, kami tetapkan untuk memeriksakan ke dokter kondisi kandunganku. Sangat beruntung, biaya yang dikeluarkan waktu itu hanya sekitar 200rb-an saja.
Setelah lebaran usai, suami meyakinkanku untuk tinggal sementara waktu di rumah orang tuaku, sedangkan dia kembali ke Kendari untuk mencari peruntungan disana. Awal kehamilan, saya merasa mual namun tetap ingin makan. Hasilnya sesudah makan saya niscaya memuntahkan semua masakan yang sudah masuk. Sebulan saya bertahan tinggal di rumah orang renta saya yang sudah mengetahui kondisi kami. Saya mulai tak tahan alasannya ibu saya mulai suka menyindir saya dan meratapi keputusan saya dan suami resign dari kantor dulu. Saya sedih, emosi saya tidak terkontrol, ditambah lagi saya jauh dari suami. Rasanya ingin menghilang saja.
Lalu saya menceritakan penderitaan saya pada suami, saya ngotot ingin ke tempatnya namun suami menyampaikan ingin mencari kosan gres yang lebih murah. Kaprikornus saya menunggu selama beberapa waktu. Setelah suami sanggup kosannya dan pindah, saya kemudian membeli tiket ke Kendari. Saya pindah dengan membawa luka. Bukan alasannya sindirian ibu saya, tapi alasannya ketidakmampuan saya membahagiakan hati orang tua. Saya terluka alasannya saya merasa nasib jelek sedang menimpa saya disaat saya hamil.
Kehidupan kami sesudah itu, sungguh amat memilukan. Kami tinggal di kamar sempit berukuran selayaknya 1 kamar dari rumah tipe 45. Terkadang kami harus mengumpulkan uang koin untuk membeli bensin, ketika itu suami saya menjadi pengumpul kayu jati. Penghasilan lumayan, namun kami harus membayar utang yang saya sebutkan diawal tadi. Kaprikornus hanya bersisa 700-1jt rupiah per bulan. 500rb untuk bayar kos dan sisanya untuk kehidupan selama sebulan atau lebih. Saya bahkan tidak memeriksakan kandungan saya ke dokter hingga usia 5 bulan alasannya tidak adanya biaya. Bahkan di hari idul adha, kami hanya bisa makan mie instan sebagai ganti daging kurban. Saya sempat menangis kala itu, saya sedang menjemur pakaian dan melihat ibu-ibu tetangga sedang makan daging kurban bersama, namun tak ada satupun yang memanggilku untuk ikut makan.
Pernah suatu ketika, saya hanya memegang uang 10rb rupiah saja dan tetapkan berjalan-jalan ke pasar. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kumakan, namun alasannya uang saya tidak cukup, saya hanya bisa melihat masakan itu saja dan kemudian menelan air liur. Bahkan ayah saya pernah sekali tiba mengunjungiku, dia menangis melihat kondisiku. Saya hanya bisa menyajikan nasi, kangkung dan tempe goreng tanpa bumbu. Beliau ingin memberiku uang, tapi kutolak. Saya tidak ingin menjatuhkan harga diri suamiku di depan ayahku. Kaprikornus ayahku hanya rutin mengirimiku masakan saja yang dititip pada kawannya yang akan ke Kendari.
Selama 3 bulan kami tinggal di kosan itu, kemudian pindah mengontrak rumah renta kecil bertipe 36 di pinggiran kota seharga 5jt per tahun. Saat itu saya sudah bisa ke dokter alasannya alhamdulillah kayu jati yang dijual suamiku laris banyak. Tapi sebagai konsekuensi, suami harus jarang pulang dan pergi di perkampungan untuk mencari lebih banyak kayu jati. Lalu di usia 6 bulan kandunganku, saya pulang ke rumah orang tuaku. Saya dipanggil alasannya ibuku takut kalau terjadi apa-apa disana sementara suamiku sedang jauh.
Kehidupanku sesudah itu, tidak beda terlalu signifikan dengan yang sebelumnya. Kadang, suamiku belum berhasil menjual kayunya atau malah tidak sanggup kayu, atau malah uangnya harus digunakan bayar utang. Saya tidak bisa membayar dokter kandungan, jadi ayahku yang menunjukkan uang untuk periksa alasannya dia takut kalau terjadi apa-apa padaku dan cucunya.
Ketika akan melahirkan, saya ketakutan setengah mati. Sudah semalaman saya berbaring di ranjang bersalin, air ketuban pun sudah pecah namun pembukaan masih belum ada bahkan pembukaan satu. Satu hal yang membuatku kemungkinan bertambah stress, alasannya hingga ketika itu tak ada sedikitpun uang yang kami pegang untuk biaya melahirkan, innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Saya murung bukan main, terlebih ketika paginya dokter melakukab usg dan menemukan ketuban saya sudah habis di dalam dan harus dilakukan proses operasi. Saya pasrah, "ya Allah.. Jika memang ini sudah takdirku, maka saya serahkan semua urusanku padamu. Saya tidak sanggup ya Allah. Engkau Maha Kaya sementara saya tidak punya apa-apa." kira-kira begitulah pikiranku.
Lantas saya dioperasi. Setelah selesai, suami memberitahuku bahwa ketika di ruang operasi tadi, dia menerima kabar bahwa kayunya gres saja laris dan juga ayahku memberiku sumbangan dana sebesar 5jt rupiah untuk suplemen biaya bersalin, uang terkumpul 20jt. Pas untuk biasa bersalin, masya Allah.. Saya menangis, tak sanggup mendapatkan kemurahan hati Allah yang begitu sayang padaku dan anakku.
Setelah anak saya lahir, suami saya eksklusif kembali ke Kendari untuk mencari nafkah. ASI saya tak kunjung keluar, kemungkinan alasannya stress keuangan yang saya alami. Masa transisi itu sulit, terlebih sebelum menikah saya tak pernah sekalipun hidup susah. Ketika ASI tak keluar, susu formula menjadi alternatif untuk bayi. Saya ingat ketika itu anak saya membutuhkan 500rb rupiah per ahad untuk susu dan popoknya. Susu anak saya S26 gold, alasannya itulah harganya mahal. Meski keuangan masih dibawah rata-rata, saya dan suami tidak tega menunjukkan nutrisi yang kurang pada anak. Kaprikornus suami harus bekerja ekstra.
Kehidupan kami pun berlanjut, alhamdulillah semakin hari semakin baik. Kami meninggalkan semua yang tidak boleh Allah. Kami mulai sadar bahwa kemarin kami dieksekusi alasannya bermain dengan riba. Ya, perjuangan truk suami saya memang dimulai dari uang riba. Maka dari itu, Allah mencoba mencuci kami, Allah gak rela anak kami memakan uang riba alhamdulillah.
Saat ini, kehidupan kami jauh lebih baik meski kami masih ngontrak, tapi ketika ini kontrakan kami jauh lebih baik. Suami tidak bekerja lagi sebagai pengumpul kayu dan saya masih tetap berada di rumah menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga seutuhnya. Kami tidak mempunyai rumah bukan alasannya tidak mau, tapi alasannya kami belum sanggup membayar tunai dan belum menemukan cicilan rumah tanpa riba. Mobil pun kami tidak punya dan lagi-lagi alasannya alasannya tidak sanggup cash. Selain itu kami fokus melunasi utang-utang yang kemudian dan alhamdulillah tinggal sedikit lagi akan lunas. Jadi kami masih bersabar, Allah Maha Kaya dan kami tidak punya apa-apa. Kami yakin, kalau Allah mau ngasih, niscaya kami eksklusif punya rumah, kendaraan beroda empat dan apa saja. Karena pada hakekatnya semua yang ada di dunia ialah miliknya, jadi kalau mau sesuatu ya tinggal minta saja, ikuti aturannya, jangan bandel.
EmoticonEmoticon