dokumentasi pribadi |
Malam ini alasannya tidak masak di rumah, saya dan anak beralih ke warung prasmanan akrab rumah untuk bersantap malam. Awalnya biasa saja, hingga saya mendengar seorang ibu yang membully anaknya sendiri di hadapan orang lain. Si ibu kerap melontarkan kata-kata garang pada si anak, padahal saya memperhatikan si anak sedang menyusun air mineral kemasan gelas menjadi sebuah menara dan menyusun tusuk gigi menjadi bermacam-macam bentuk. Sayangnya, si ibu merasa hal yang dilakukan si anak ialah hal yang negatif.
Menurut Wikipedia, pembullyan atau penindasan ialah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini sanggup menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini sanggup meliputi pelecehan secara mulut atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan sanggup diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Budaya penindasan sanggup berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari mulai di sekolah, daerah kerja, rumah tangga, dan lingkungan.
Dewasa ini, kita para orang bau tanah menyampaikan bahwa anak kerap di bully di sekolah dan pembullyan hanya dilakukan pada anak seusia mereka saja. Tapi tahukah, bahwa kenyataan pahitnya ialah para orang bau tanah lah yang kerap melaksanakan tindakan pembullyan pada anak mereka sendiri. Coba perhatikan, seorang anak yang tidak bisa melaksanakan satu kompetensi contohnya matematika, maka orang bau tanah akan selalu menyampaikan anak tersebut udik bahkan kalau perlu melaksanakan tindakan kekerasan. Jika anak mempunyai energi yang luar biasa besar, loncat kiri dan kanan, berlarian dan menari, maka si orang bau tanah akan melabeli si anak dengan kata "liar" bahkan "nakal".
Kenyataan ini pahit, sangat pahit. Sayangnya tidak banyak orang bau tanah yang sadar akan hal ini. Si anak memecahkan gelas, lantas si ibu berteriak "BODOH!". Padahal apa sulitnya membersihkan potongan beling yang berserakan? Sesulit itu kah hingga lebih gampang mematahkan hati si anak? Si anak makan blepotan, menumpahkan makanannya kemana-mana, lantas di ibu berteriak lagi "JOROK KAMU!". Sesulit itu kah membasuh badan yang kecil itu, mengelap meja dan menyapu lantai? Sehingga begitu mudahnya mematahkan hati yang kecil itu.
Begitulah generasi kami, generasi ibu pada era ke 21. Mereka memang dididik menjadi perempuan karir, bukan menjadi ibu rumah tangga. Sehingga saat mereka dihadapkan pada sosok anak, mereka stress dan tak tau harus berbuat apa. Saya pun demikian, di awal mempunyai anak, saya sempat stress dan kebanyakan marah. Namun saya sadar bahwa saya tidak bisa begini terus-terusan. Saya belajar, masuk komunitas parenting, membaca buku, dan yang terpenting saya memohon ampun pada Allah, sang Maha pembolak balik hati.
Ayo ibu, ayah, kembalilah pada fitrahmu. Anakmu bukan musuhmu, anakmu bukan sainganmu. Mereka ialah surgamu, mereka ialah pewarismu, darah dagingmu, jembatanmu menuju surga. Lepaskan mereka dari pembullyan, selamatkan mereka dari penindasan yang dilakukan oleh orang bau tanah mereka sendiri.
EmoticonEmoticon