Thursday 1 February 2018

Guruku, Bukanlah Seorang Guru

Foto: webtoons pak guru inyong
Kemarin saya membaca sebuah gosip yang isinya perihal seorang guru yang melempar muridnya dengan bangku plastik lantaran si murid tidak mau membersihkan ruang kelas yang sudah menjadi tanggung jawab hariannya. Akibatnya, kepala si anak harus menderita bocor dan dijahit dengan beberapa jahitan. Sumber gosip bisa dibaca disini ya.

Sebelumnya saya pernah membaca gosip perihal seorang guru yang menelanjangi siswa lantaran tidak mengerjakan PR, sumber. Lalu, ada lagi gosip perihal guru yang menampar muridnya dengan sadisnya, sumber. Kemudian gosip lainnya menulis perihal seorang guru yang memukul anak sampai wajah si anak lebam dan gigi nyaris copot, sumber. Serta masih banyak perkara dimana guru menghukum muridnya secara tidak wajar.

Menurut saya, guru yaitu profesi yang bersentuhan eksklusif dengan hidup manusia. Sama halnya dengan profesi dokter. Bayangkan kalau seorang dokter salah mendiagnosa penyakit pasiennya, maka yang terjadi yaitu kehidupan pasien yang dipertaruhkan. Seorang guru yang salah mendidik murid-muridnya, dengan menawarkan eksekusi yang tidak sewajarnya, maka akan menjadikan pengaruh stress berat di hati dan pikiran si murid yang lalu akan mempertaruhkan kehidupan si anak ke depannya. Dokter dan guru yaitu profesi yang sangat erat bahkan sangat bisa menghipnotis kehidupan manusia.

Tapi, saya tidak sedang membahas profesi dokter. Saya sedang membahas profesi guru. Kejadian yang memedihkan hati perihal eksekusi tidak masuk akal seorang guru pada muridnya menciptakan saya bertanya-tanya. Apakah zaman kini seorang guru tidak lagi mendedikasikan hatinya untuk pendidikan? Apakah mereka yang berkuliah sampai mendapat gelar S.Pd hanya dengan tujuan mendapatkan honor dari pemerintah atau forum lainnya? Sehingga lupa bahwa yang dihadapinya yaitu seorang insan yang ingin berguru menghadapi dunia.

Pasti akan banyak pembelaan di luar sana bahwa guru juga seorang insan yang mempunyai problem di luar sehingga memungkinkan beliau khilaf dengan pekerjaanya. Bayangkan kalau seorang dokter yang berdalih ibarat itu. "Saya sedang stress mengingat istri/suami saya, jadi maaf saya salah potong. Harusnya mengangkat usus buntu malah saya mengangkat rahim. Maaf saya khilaf". Masalah gak? Jelas masalah!

Bagaimana kalau seorang guru yang melaksanakan kekhilafan? "Maaf saya khilaf melempar bangku ke kepala anak Anda sehingga menciptakan kepalanya jadi bocor". Kira-kira orang renta mana yang mau menerima? Kira-kira anak mana yang tidak stress berat kalau diperlakukan ibarat itu? Kira-kira apa yang akan terjadi di masa depan si anak ketika mereka terus-menerus diberikan eksekusi sadis oleh gurunya di sekolah, sementara mereka bersekolah untuk belajar, bukan untuk dihukum. dengan sadis.

Guruku bukanlah seorang guru. Ya, memang benar. Pada kenyataannya banyak para pendidik kita di sekolah yang bergotong-royong belum pantas bekerja menjadi seorang guru. Mereka cerdik namun tak berakhlak mulia. Sementara cerdik tidak cukup menjadikan seseorang bisa mendidik seorang manusia, apalagi harus dihadapkan dengan puluhan siswa di kelas. Mungkin itulah sebabnya semakin kesini, semakin banyak orang renta yang sadar bahwa lebih baik mendidik sendiri anaknya di rumah (dengan homeschooling) daripada harus menitipkan anak di sekolah.

Harapan saya, setiap orang yang ingin mendaftarkan diri menjadi seorang guru, harusnya dibekali dengan tes psikologi yang dilakukan eksklusif oleh psikiater yang jago di bidangnya. Jika ada kecenderungan negatif, maka selayaknya ditolak. Karena di tangan seorang guru lah para orang renta menitipkan calon penerus bangsa. Apa akhirnya kalau calon penerus bangsa dititipkan pada seorang psikopat? Terlebih dikala ini banyak sekolah yang menerapkan jam yang lebih usang dari biasanya, yang otomatis mau atau tidak mau, si anak akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama gurunya.

Wallahu'alam.


EmoticonEmoticon